Asal Muasal Lesung Pipi

Leave a comment

Mahadewa memerintahkan para bidadari turun ke bumi. Memeriksa satu persatu rumah apakah ada seorang ibu yang hendak melahirkan. Jika iya, satu bidadari diutus masuk, yang lain menyebar ke tempat lain. Mengetuk pintu terlebih dahulu, beruluk salam, lalu menyamar menjadi Dukun Persalinan.
‘Salamualaikum.’
Seorang bapa menyambut. ‘Mbok, bantu istri saya. Silakan masuk Mbok. Tolong cepat ya Mbok.’
‘Tenang Pak. Saya bantu.’ jawab bidadari itu. Dalam hati, ia tak nyaman dengan predikat mbok yang diucapkan si bapa. Badan masih sintal, hanya wajah dibuat mirip seorang nenek.
Di ranjang, sang istri gelisah. Didampingi satu perempuan yang sepertinya ibunya. Wajah sang calon nenek sumringah. Kehadiran bidadari dukun beranak memberi harapan kelanjutan hidup keluarga itu.
‘Sini Mbok. Cepat bantu.’ ucap sang calon nenek.
‘Siapkan handuk, air hangat,’ perintah sang bidadari. ‘Setelah itu berikan padaku. Dan kalian di luar saja.’
Sang calon nenek dan ayah segera bertindak. Menuju belakang rumah.

***
‘Tidurlah Kau wahai Ibu hamil.’ perintah sang bidadari. ‘Tak perlu mengejan. Tidurlah lebih dalam.’
Sang Bidadari menghipnosis. Sang calon ibu justru tertidur. Entah dengan cara bagaimana, si jabang bayi sudah ke luar. Tanpa menangis.
‘Sebagai penanda aku pernah di sini. Kuberi cap di pipimu.’
Dikeluarkan satu tongkat kecil, ditempelkan di pipi si jabang bayi. Kanan lalu kiri, dengan tekanan yang lumayan. Dalam tidur, si jabang bayi tersenyum.
‘Kusebut alat ini lesung.’ Diangkatnya tongkat kecil itu. ‘Harapanku, kau memberi terus senyum untuk dunia yang melahirkanmu.’
Benar, si jabang bayi tersenyum. Ada cekungan di kedua pipinya. Manis sekali.
Diletakannya si jabang bayi di sebelah sang ibu. Dan sang bidadari menghilang.

***
‘Loh Bu. Bayinya sudah ke luar.’ ucap sang bapa kebingungan.
‘Di mana Mbok Dukun tadi?’
Sang ibu yang tadi tertidur, bangun.
‘Gusti Ingkang Maha Agung. Terima kasih, bayi dan istriku selamat.’ Ucap sang bapa.

Meribut di http://www.andhysmarty.multiply.com

Desain Patung Liberty (Terinspirasi) Baju Bodo Indonesia?

Leave a comment

Menganggap Negeri Adikuasa secara serampangan, jika ia adalah pusat teknologi, tempat bermula segala Rennaisance, agaknya perlu dipertimbangulangkan. Amerika Serikat jauh dari yang seperti kita pikir. Di sana banyak juga gelandangan, kecoa tetap ada, tak kalah penting legenda yang dipikir pikir bisa dikatakan tak logis. Di Negeri Paman Sam, masih saja ada cerita primitif seperti di Indonesia.

Mau tahu apa itu?

Tak perlu seluruhnya ditunjukkan. Tak cukup catatan ini mengorek rahasia paling misterius yang dipunya oleh warga Amerika Serikat. Baiklah, kita siap siap menerima satu, satu dahulu cerita rakyat sana.

Ternyata, Kawan kawan, Patung Liberty berasal dari Nusantara. Indonesia punya. Tak percaya? Begini cerita asalnya.

***

Jauh setelah Paman Columbus menemukan Benua Amerika, seorang gadis Parahyangan masuk ke Negeri Seluruh Negeri di Bumi itu. Ia bernama Iteung. Parasnya sungguh menawan, dengan lesung pipi yang diumbar ke mana mana. Rambutnya tak berkutu, bersih dan terawat dengan baik. Kakinya mulus, jari jarinya tak runcing karena ia sangat rajin memotongnya. Yang paling mengesankan, logatnya yang sungguh Sunda pisan euy, mendayu dayu, dan membuat orang yang mendengarnya terkesima.

Iteung pelajar program beasiswa XXX. Diberi tanda tripel x tiga kali, karena yang memiliki yayasan tak ingin dipublikasikan ke umum. Karena ia beranggapan, memberi tanpa harus menerima. Baiklah, kita teruskan cerita ini,

Mengambil jurusan fashion. Iteung berguru kepada para desainer tersohor. Imajinasinya diasah di sana, berkembang pesat, hingga ia menjadi mumpuni di bidang perakitan busana. Namun, Iteung tetaplah gadis Sunda yang tetap menghargai jati dirinya. Ia selalu mengenakan Baju Bodo di manapun berada.

‘Model bajumu keren sekali, Teng.’ ucap salah satu gurunya, Swansee, dari ras Negroid. ‘Kau beli di mana?’

Iteung menjawab dengan bangga. ‘Wah, di negeriku banyak. Murah murah.’

‘Benarkah?’ si guru mengamati total. Wajahnya bersinar. ‘Berapa harga satuannya?’

‘Kalau beli bijian sama kodian beda, See. Mau kau jual lagi kah?’

‘Iya, aku pengin ngejualnya.’ Dialek Swansee terdengar seperti orang Betawi.

‘Oke. Nanti aku kontak orang orang di negeriku ya.’

‘Baiklah. Aku tunggu ya.’

***

Benar. Swansee dan Iteung berkolabori menjual baju bodo di Amerika Serikat. Dan menjadi tren di sana. Lengkap dengan bandana yang berkelap kelip keemasan, sandal khas Nusantara, membuat wanita wanita di Amerika Serikat tampak anggun dan berseni. Rok mini, ditinggalkan oleh mereka. Mereka menganggap rok yang memamerkan paha tak ubahnya menarik minat para pengisap darah. Bodo meledak di pasaran.

Datanglah seorang Prancis di lapak Swansee dan Iteung.

‘Siapa bos toko ini?’ kata dia.

‘Kami berdua. Bagaimana Tuan? Ada yang bisa kami bantu?’

‘Aku tidak ingin membeli dagangan kalian!’ seru dia. ‘Perkenalkan namaku Bartholdi.’

‘Saya Swansee, dan ini teman saya Iteung.’

Bartholdi mendengus. ‘Kalian telah merusak reputasi kami, negeri kami!’

‘Bagaimana bisa?’ ucap Iteung melongo.

‘Iya. Gelar Negeri Mode nyaris dicabut gara gara kalian.’

‘Hah ….’ Iteung dan Swansee bertatapan wajah.

‘Gara gara dagangan kalian. Dumb Dress!’

‘Kami tidak bodoh Tuan!’ seru Swansee.

Iteung menahan emosi Swansee. ‘Tenang, See. Kita cari tahu dahulu.’

‘Apa itu orang orang sini bilang. Baju Bodoh!’ kata Bartholdi.

Baku mulut terjadi. Tak ada titik terang. Iteung dan Swansee mencoba mempertahankan diri. Francois terus mengomel agar baju bodo tak lagi di jual di sini. Karena ekspor sudah masuk ke Prancis, dan mengganggu penjualan baju baju rancangan di sana.

Singkat kata, Bartholdi ditahan di kepolisian. Karena telah melakukan tindak pemerasan dan perbuatan tidak senonoh.

***

Bartholdi yang malang. Ia sekarang gemar sembahyang. Menyesal dirinya telah berlaku tidak adil kepada penjual baju bodo. Untuk menghapus dosanya, ia merenung dengan menggambar. Untung saja sipir di penjara sangat berbaik hati, memberi Bartholdi berlembar lembar kertas. Jika tidak, tak tahu dinding akan penuh dengan coretan.

Terinspirasi baju bodo, Bartholdi menggoreskan pensilnya ke kertas. Ide ide di kepala Bartholdi bergentayangan. Ada beberapa yang eksotis:

Pelabuhan New York

Patung penanda, seperti mercu penunjuk bagi kapal kapal

Tentu, obor yang memberi cahaya di malam yang gelap

Wah, patung itu berjenis kelamin perempuan. Tentu akan menarik minat para wisatawan

Dan, ia berbaju bodo lengkap dengan jubah dan bandana

Tak lupa, buku tagihan utang

Memang, penjara tanpa disadari terkadang menjadi tempat paling hening untuk berkarya. Jadilah gambar patung liberty.

Tak berniat si Bartholdi menjadikannya simbol terbaik Bangsa Amerika Serikat. Gambar dirinya memenangi kontes Walikota New York. Sebagai tanda penghargaan,Bartholdi dibebaskan dari penjara.

‘Aku harus menemui dua wanita itu!’ janji Bartholdi.

Dicari ke mana mana, Bartholdi tak menemukan. Lapak Iteung dan Swansee sudah berganti Toko Pakaian Mandarin yang kini menggantikan posisi Baju Bodo.

‘Ah, aku sudah berdosa.’

Iteung sudah kembali ke Indonesia. Dan Swansee sudah wafat. Namun Patung Liberty memberi pertanda, jika Baju Bodo Nusantara mengilhami kebesaran bangsa Amerika Serikat.

Freedom to Love: Gadis Pemuja Sakura

Leave a comment

Satu gadis memuja Pohon Sakura. Jika musim semi tiba, bunga bunga bermekaran, ia selalu siap sedia di taman. Menyanjung sakura, mengamatinya lekat lekat, lalu memetiknya melompat dengan tangan si gadis yang panjang. Setelah dapat, setangkai bunganya disayang sayang sambil diajak mengobrol.
‘Oh, Sakuraku yang manis,’ jemari lentiknya mengelus kelopak Sakura. ‘Sudah setahun kutunggu. Kini kau hadir juga.’

Jepang bersuhu tengah tengah. Tidak panas, dingin tak menusuk tulang. Baju baju yang dipakai pejalan kaki tak tebal. Tapi memang leher mereka dilingkari syal. Derap sepatu mereka bersamaan dengan jatuhnya bunga bunga sakura yang tak kuat menyatu dengan dahan.
Gadis Pemuja Sakura duduk di bangku taman. Meletakkan setangkai sakura, ia mencatat menulis di buku hariannya.

Bunga Sakura yang kusayang
Kuambil, tak untuk kutendang
Baumu sungguh merangsang
Menimbulkan bayang bayang

Sampai sore, begitu dan terus begitu. Mencinta, lalu balik ke rumah untuk diberitahukan ke Ibunda.
‘Ibu, aku telah mencinta ….’ seru si Gadis Pemuja Sakura
‘Bagus Nak. Kau mulai dewasa.’ ucap si Ibunda.

Meribut di http://www.andhysmarty.multiply.com

Si Bongkok, Ayah, dan Diriku

Leave a comment

Bercermin. Membalikkan tubuh, memutar kepala untuk tahu apakah si punggung baik baik saja. Tak ada jamur, atau bekas luka. Jika bagian muka tubuh tak jadi masalah, belakang menjadi pertanyaan paling mendasar.
Si Bongkok berkata, ‘Cemburu aku padamu.’
Seketika kutata kembali bajuku. Biar badanku tertutup. Oh, si Bongkok merasa tersindir. Aku tak bermaksud memberi pelecehan kepadanya. Sungguh. Bersumpah hanya membuatku tampak bodoh di hadapan si Bongkok.
Lalu aku menjawab, ‘Aku hanya bercermin Bongkok.’
‘Sudah sering kukatakan, gantilah namaku dengan yang lain.’ Ia menundukkan muka, menangis. Air matanya jatuh ke tanah. ‘Kau malu dengan keadaanku ini.’
‘Bongkok itu panggilan sayangku padamu’ ucapku.
‘Tapi aku tak nyaman.’
Kami pun larut dengan pertanyaan yang terus mengganggu.

***

Bongkok adalah saudara tiriku. Lain ayah, satu ibu. Ayah kami meninggal dengan sebab yang tak jelas. Ibu bercerita, mereka diamankan oleh polisi yang jumlahnya banyak. Di malam hari. Lalu, aku dan bongkok bertanya waktu itu:
‘Ibu, kenapa ayah diamankan?’ tanyaku tentang ayah kandungku.
‘Ayahku juga Ibu?’ Bongkok bertanya juga tentang ayahnya.
Menatap langit langit rumah, Ibu menata perkataannya.
‘Anak anakku. Ayah kalian sudah senang di sana.’ Jawabnya.
‘Senang bagaimana Bu?’ tanya Bongkok.
‘Kalian terlalu kecil untuk tahu. Nanti setelah dewasa, ibu akan menjelaskan pada kalian.’
Kami tidak puas. Terus mendesak agar ibu menceritakan yang sesungguhnya. Dan, seiring besarnya aku dan Bongkok, kami tahu jika ayah kami musuh pemerintah. Dibunuh untuk menyelamatkan muka penguasa. Ayah kami punya kartu mati untuk menjebloskan para korup di negeri kami. Sejak saat itu, isu menyebar ke seluruh kampung. Jika ayah kami adalah penjahat negara. Bongkok yang sangat terpukul. Dengan kondisinya yang seperti itu, gonjang ganjing tentang ayah kami menjadikan dia terus malu.
Pernah suatu hari, seorang anak kecil berseru kepadaku dan Bongkok.
‘Heh anak haram. Ibu kalian kawin dua kali. Semuanya dengan penjahat!’ ia lalu lari meninggalkan kami.
Jika kami tidak sabar, kami kejar itu bocah untuk membungkamnya. Tapi, ibu sudah mewanti wanti kami untuk berlaku bijak. Tak semuaa orang memahami dan tahu. Yang hanya bisa dilakukan adalah pasrah kepada sang Esa. Waktu akan menjawab dengan semestinya.
(bersambung)
***
Meribut di http://www.andhysmarty.multiply

Operasi Hidungku yang Salah Kaprah

Leave a comment

Salah operasi. Hidungku jadi jelek banget. Maksud hati biar mirip Tom Cruise, malah berantakan seperti ini. Aku komplain ke dokter bedahku. 

‘Dok. Gimana nih?’ bentakku. ‘Mending aku ke Haji Jeje tadi.’

Si Dokter di depanku santai saja. Sialan. Seolah dia tak bersalah. Dan aku yakin banyak pasien yang telah dikerjai dirinya. Entah mereka yang bokongnya amburadul yang seharusnya dengan operasi terangkat lebih padat. Atau, operasi plastik payudaranya besar sebelah.

‘Tenang Pak.’ Si Dokter menenangkan. ‘Tunggu saja beberapa jam. Nanti hidung Anda sempurna.’

‘Tapi nyatanya buruk begini Dok.’

Dia tersenyum. Hatiku mangkel.

‘Gini saja. Anda sabar saja. Silakan kembali ke rumah. Ini saya buatkan surat garansi.’

‘Dokter pikir, hidung saya onderdil mobil?’

‘Bukan begitu Pak. Ini prosedur di tempat kami.’

Edan. Tempat perawatan kecantikan macam apa ini? Eh salah, aku laki laki. Tak apalah, toh ini tuntutan zaman. Lelaki juga berhak mempertahankan kecakapan dirinya. Tapi bagaimana dengan hidungku ini? Sumpah, seluruh orang di tempat kerjaku nanti mencemoohku. Atau, nanti kuperban dulu. Dan jika ditanya aku akan berakting, bilang jika aku tengah ikut kursus tinju. Dan hidungku patah oleh satu petinju nasional. Oke, beres.

‘Jadi gimana nih Dok?’ tanyaku.

‘Ya sudah. Anda kembali ke rumah dulu. Besok ke sini lagi.’

Benar kan. Mereka menyuruhku kembali lagi. Berarti uang masuk ke tempat mereka. Sudahlah, aku balik dulu. Setres.

***

Meluncur di jalanan Jogja, muka bertutup helm rapat. Angin tak bolehlah kena ke mukaku. Takut jika hidung makin hancur. Hatiku dag dig dug. Anak kos langsung menyemprotku nanti. Ibu kos menertawakan dengan gaya Nenek Sihirnya. Kalut benar saat menunggangi motorku ini.

Sampai kos, langsung masuk kamar. Tanpa membanting pintu kamar tentunya. Langsung menuju cermin. Kugoyang wajah ke kanan, ke kiri, kuperhatikan lekat lekat. Loh, hidungku jadi sangat cantik begini. Panjang dan sesuai harapanku. Bagaimana bisa tadi di pusat perawatan buruk sekali. Ini kalau emosi. Jadinya semua di luar kendali.

Dalam hati kuberteriak. Aku SMS dokter tadi, mengucapkan terima kasih atas hidung baruku yang keren.

Meribut di www.andhysmarty.multiply.com

A Judgement Day: Kutukan bagi Para Pelanggar Lalu Lintas

Leave a comment

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari penghukuman. Bagi mereka yang secara sengaja atau tidak. Yang melanggar rambu, mata buram tak mampu membedakan lampu merah atau hijau, atau ugal ugalan di jalan raya. Inilah pembalasan bagi mereka yang tak taat hukum. Memang, di negeri kita tak menerapkan hukum pancung, rajam, atau setrum listrik bervoltase tinggi. Tapi kejutan ini cukup untuk membelalakkan mata jika hukum negeri Nusantara mulai berjalan.

Aku melanggar rambu. Jalur mobil aku masuki. Sementara motorku tak berSTNK. SIM ada, tapi tinggal sebulan masa berlakunya, untung saja aku bawa. Jadi dua pelanggaran yang kulakukan. Peluit dua polisi menyelak. Mata mereka saling beradu sebelum menatap padaku. Dan salah satunya mengalah untuk menilangku.

‘Kau yang mengurus dia.’ aku membaca gerak bibir satu polisi yang mengalah.

Polisi mendekatiku. Tak ayal keringat dingin meleleh. Paling takutlah diriku dengan polisi. Karena,  banyak orang yang antipati pada mereka. Menilang dengan ujung meminta duit sogokan, memperlakukan para pengendara dengan tidak manusiawi, itulah pendapat yang aku dapat dari orang orang dekatku.

‘Selamat pagi Pak.’ ia berucap dengan menghormat padaku.

‘Pagi Pak.’ jawabku gemetaran.

‘Bapak melanggar rambu. Mohon menunjukkan surat surat Bapak.’

Aku tak mampu menunjukkan STNK. Dan aku sudah siap siap menyodorkan uang kepadanya. Tapi ….

‘Bapak hari Jumat silakan mendatangi Pengadilan Negeri.’ sembari menulis surat tilang, ia tersenyum akrab seakan ingin menunjukkan polisi sekarang telah berubah.

‘Baik Pak.’ aku menjawab.

‘Hati hati untuk selanjutnya Pak.’ Pak Polisi menghormat dan meninggalkan diriku.

Hari Jumat yang dimaksud

Dua hari mempersiapkan diri. Berkaca, berargumen untuk menjawab pertanyaan pertanyaan hakim. Mengapa aku melanggar, bagaimana bisa terjadi, status pekerjaan hingga aku tak mampu membaca rambu, atau jika harus membayar denda terlalu besar maka akan meminta keringanan. Aku tak mau dianggap bodoh di depan penggede hukum. Harus kritis. Karena hukum negeri sudah diketahui telah bocor. Ini yang membuat hatiku dag dig dug disidang nanti.

Jogja mendung. Semoga tak hujan hingga sampai di Pengadilan negeri. Tak ingin jemuran kehujanan sementara si ibu kos yang biasa mengangkat pergi arisan RT. Ah, kalut sekali. Padahal hari ini adalah masa pembuktian, seberapa lihai diriku hasil berkuliah di fakultas hukum.

Motor melaju dengan kecepatan penuh.

Sampailah di tempat sidang.

Wah, parkir kendaraan penuh. Berkeliling , akhirnya dapatlah tempat diriku. Menerima karcis, bergerak masuk, dan … masyaAllah, ratusan orang antre mendapat giliran disidang.

Alamak, aku berpikir apakah Pengadilan Negeri berubah menjadi pasar ternak? Dan ajaibnya, seluruh orang yang berada di pengadilan adalah pelanggar lalu lintas. Semua tanpa kecuali.

Tua muda, lelaku perempuan, berbusana batik ataupun biasa, tak bersepatu dan yang hanya memakai sandal jepit, semua menyatu. Suara riuh bercampur asap rokok yang mengepul memenuhi ruang tunggu. Belum jam delapan, yang berarti pengadilan belum buka. Masih menunggu para penghukum berbayar selesai bersenam ria. Karena hari Jumat adalah masa merilekskan pikiran dan tubuh.

Satu pegawai pengadilan datang. Masih berkaos senam bertulis ‘Anti Suap, Anti Sogokan’. Wah, kejutan sekali. Mereka sudah memantapkan diri untuk menjadi pengadil yang hebat. Dalam hati, aku sangat bersyukur, semoga memang benar adanya. Niat yang baik musti didukung.

Ia mengeluarkan kunci dari saku, dan membuka ruang adilan.

‘Silakan mengumpulkan surat tilang. Tusukkan saja di atas meja.’ perintah bapak pegawai pengadilan.

Sontak seluruh pelanggar lalu lintas berebutan. Saling sikut dan mengomel.

‘Eh eh, harap antre. Yang sopan. Giliran!’ sekali lagi si bapak pegawai memberi aba aba.

Para pelanggar lalu lintas keder. Mengerut tak memiliki taji. Seketika keributan berubah menjadi tertib yang syahdu.

‘Bapak bapak dan Ibu ibu harap menunggu panggilan sidang.’

Bersambung

Meribut di www.andhysmarty.multiply.com

Menggaul di http://www.facebook.com/Dannie.Travolta