BAGIAN 1:  PERJUMPAAN

Di perempatan MM UGM. Panas, keringat para pengendara meleleh di pipi mereka yang terbakar. Lampu lalu lintas masih merah menyala. Kaki kaki bergoyang gelisah berharap hijau segera menghantam mata. Satu polisi asyik memainkan hapenya. Ia tersenyum, matanya mesum. Ada keasyikan yang tengah ia lakukan.

Dari teduh pohon, seorang bocah turun jalan. Kulitnya legam seperti aspal yang terus dihajar panas mentari. Di tangan kanannya, mainan dibuat dari tutup tutup botol yang ia rakit sendiri. Dipukul pukulkan di telapak tangan kirinya. Ia bernyanyi.

‘Cinta ini, kadang tak ada logika ….’

Agnes Monica lah yang ia tiru. Namun suaranya lirih. Nyaris menggumam. Satu kalimat saja, tak tuntas ia mengamen. Pun ia berputar sebelumnya mengeluarkan plastik permen yang mengilat. Sekarang, ia meminta belas kasihan para pengendara yang terus mematung.

‘Mas ….’

Seorang pemuda tampan tak menggubris. Ia melirik si bocah jalanan seolah ingin menendangnya. Dengusan pun terdengar meluncur dari cuping hidung si mahasiswa yang berdenyut.

‘Mbak ….’

Bocah jalanan mengulurkan plastiknya. Perempuan bertubuh gendut acuh. Ia menyibakkan poninya yang ke luar dari helm standar bermotif bunganya. Merogoh saku, ia mengeluarkan uang. Koin. Betapa si bocah jalanan melonjak. Ia makin percaya diri meluruskan tangannya.

Namun, si mbak yang nyaris berbudi baik itu melemparkan koinnya. Tak jelas ke mana. Bocah jalanan ribut mengejar koin yang bergulir dan berputar putar di jalan.

‘Makasih, Mbak!’ si bocah jalanan berdiri melemparkan senyum ke perempuan itu.

Lampu masih merah. Dan, semua BERHENTI. Tak ada pergerakan di perempatan MM. Waktu tak berjalan. Orang orang diam. Motor pun tak menderu. Mobil pun begitu dengan pengemudinya yang kaku. cah jalanan bingung. Ia mengitari pengendara motor, menatap mereka satu per satu.

‘Ada apa ya, ini?’ ucapnya. ‘Kenapa mas dan mbak ini semua jadi patung?’

Kepalanya ia garuk garuk. Baru kali ini ia menemui kejadian aneh. Timbul hasratnya untuk menarik dompet satu pengendara yang menyembul. Atau, satu tas berwarna moncer ia saut untuk dibawa kabur.

‘Tuhan, aku takut nanti disel. Juraganku akan mencariku ….’

Bocah jalanan mendongak. Pepohonan tak bergerak meski angin tetap berembus.

‘Kiamatkah ini, Tuhan?’ tanyanya keras. Siang ini ia bergidik.

Bayangan bocah jalanan pun tertarik saat gempa tempo lalu. Jogja koyak. Ayah dan ibunya mati tertimpa tembok rumah yang rubuh. Seminggu di kamp pengungsian, ia jenuh dan minggat. Tak ada yang mencarinya. Ia lantang luntung di jalanan dengan hati yang goncang. Dan, ia bertemu seorang ibu yang sangat baik hati.

‘Siapa namamu, Manis?’

‘Datik.’

‘Ayo ikut aku, Nak!’ kata si ibu sambil memberi nasi bungkus. ‘Tinggal di rumahku. Nanti kuberi kau makan enak enak!

Datik pun manut. Perutnya lapar sekali. Ia menyangka si ibu itu peri yang datang tepat waktu saat dirinya nyaris pingsan. Dipapah, rumah si ibu megah. Setinggi pohon kelapa.

‘Kau mandilah. Gabunglah sama teman temanmu di dalam!’ katanya.

Di dalam rumah, banyak anak kecil. Mereka sedang duduk memutari meja makan yang di atasnya tampak makanan lezat. Datik mendekat.

‘Siapa kamu?!’ bentak satu anak yang berperawakan tinggi besar.

‘Da ….’

Belum sempat Datik menyelesaikan ucapannya, si anak besar tertawa keras.

‘Kau masuk sini, nggak akan bisa ke luar!’

Itulah awal Datik terjun di jalanan. Ia telah masuk perangkap. Berkali kali ia berusaha melarikan diri, namun juragannya selalu berhasil menahannya. Pasrah ia pun bekerja mengamen di perempatan MM UGM.

Satu bayangan melesat. Hampir menyambar telinga Datik.

‘Apa itu?’ seru Datik. Ia berlari meninggalkan pengendara yang masih diam tak bernyawa.

Kaokan terdengar jelas. Di pucuk pohon mahoni, seekor burung kuntul hinggap.

***

BAGIAN 2: KUTUKAN NEGERI ARAB

Datik tepat di bawah pohon mahoni. Burung kuntul menunduk tersenyum. Matanya mengedip sebelah. Dan anehnya, perempatan MM hidup lagi. Motor dan mobil melaju. Deru kenalpot mereka tak memalingkan Datik yang terpesona dengan Burung kuntul di atasnya.

‘Ayo turunlah!’ seru Datik sembari mengangkat tangannya seolah ingin berkenalan.

Burung kuntul menggeleng.

‘Ndak papa. Sini main sama aku!’ tambah Datik. ‘Kau ndak percaya aku?’

Mendaratlah si burung kuntul di tanah. Cakarnya menimbulkan bekas.  Awal yang enggan telah berubah semangat saat Datik mempertanyakan kepercayaan dirinya pada manusia.

‘Ada apa?’

Si burung kuntul berkata. Ia bisa bicara.

‘Kau … Kau ….’ Datik gagu.

‘Baru kali ini tahu binatang bisa bicara ya?’ tanya si burung kuntul. ‘Namaku Kasim.’

Datik masih saja tak percaya. Dikucek kucek matanya.

Seorang polisi menilang dua mahasiswa yang tak pakai helm. Namun mereka bersepakat damai. Uang membungkam mulut pak polisi yang sebelumnya garang.

‘Aku dulu putera mahkota Kerajaan Arab. Dikutuk aku karena bandel!’ kata Kasim.

‘Oya?’ Datik jongkok. Ia mengamati muka Kasim yang polos. Tak ada gurat kebohongan.

‘Kok bisa sampai di YK kau, Sim?’ tambahnya.

‘Panjang ceritanya ….’ Kasim menghela napas panjang. Pandangannya kini nanar. ‘Ini karena kesalahanku. BODOH aku!’

‘Apa?’

***

Bagian 3: AMANAH YANG TERABAIKAN

Hutan kecil di belakang pos polisi di perempatan MM UGM dingin. Rerimbunan pohon menutup kemungkinan sinar matahari masuk. Tak ada peluang ia mencium tanah basahnya. Tak ada hewan di sini. Burung burung kuntul yang lain tengah bermain di sawah yang entah di mana. Tupai tupai tadi izin arisan di Graha Sabha Pramana. Hening, senyap seakan ada yang disembunyikan di tempat ini.

‘Kita ngobrol di dalam saja,’ ucap Kasim si burung kuntul menunjuk rumahnya. ‘Orang orang akan dengar kita. Bahaya!’

‘Aku ikut saja.’ kata Datik parau. Ia tak biasa di gelap hutan. Di panasnya perempatanlah ia seolah bermukim tetap.

Datik membuntuti Kasim yang terbang rendah. Burung kuntul itu sesekali menengok ke belakang memastikan Datik tidak lari.

‘Masih jauh nggak, Sim?’ tanya Datik.

‘Alah sebentar lagi.’ jawab Kasim.

‘Aku takut bosku cari aku ….’

‘Lupakan dulu itu Bosmu!’

Kasim tahu jika Datik dipekerjakan oleh orang dewasa jahat. Namun ia belum mengatakan itu padanya. Perlahan Kasim akan memberi tahu gadis malang itu.

‘Nah, sudah sampai!’ seru Kasim.

Datik terengah engah memegang lututnya. ‘Mayan jauh, Sim …’

Kasimmenunjuk sarangnya di atas pohon yang paling besar di tengah hutan kecil itu. Datik ternganga.

‘Sarangmu di atas sana?’tanyanya.

Kasim mengangguk. Ujung paruh atasnya tampak terpotong.

‘Inilah rumahku. Jauh dari keramaian orang orang Jogja. Mahasiswa.’ Kasim mengucapkannya berat.

‘Gimana, Sim? Tadi kau mau cerita tentang dirimu di Arab!’

‘Oya!’ seru Kasim teringat. ‘Jadi aku dulu putra mahkota. Disuruh bapakku nemuin Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Katanya raja besar di Jogja ini!’

Datik menggeleng. Ia tak pernah dengar nama itu.

‘Siapa dia, Sim?’ tanya Datik.

‘Raja. Baik kata bapakku. Aku disuruh berguru padanya.’ jelas Kasim.

‘Begitukah?’ tanya Datik. ‘Tapi kenapa kau jadi burung?’

Kasim melihat kanan dan kiri.

‘Ya di tengah jalan aku kepincut cewek cakep. Dugem, minum arak sampai mabuk. Bapakku tahu.’ terangnya.

‘Lalu bapakmu suruh kau balik?’ tanya Datik.

‘Aku yang ga mau pulang. Di Jogja sini berbulan bulan. Bapak tahu. Marah besar sampai aku dikutuk jadi gini!’

‘Sekarang bagaimana?’

Pundak Kasim naik dan turun. ‘Tak tahu ….’

‘Gimana kalau aku usul kita cari Sultan apa itu tadi?’ tanya Datik.

‘Wah, bagus itu …..

****

Bersambung