Janji buta. Bertemu seseorang yang sudah akrab, tapi hanya lewat suara. Bermodal percaya, berawal dari SMS nyasar. Kini saatnya membuktikan seberapa elok si dia.
Suara, jelas membuai. Getar vokal dan konsonan dari ujung telepon membuat seakan diriku tersihir. Desahnya, membikin kerongkongan sakit. Gatal, pengin digaruk, tapi ketagihan ingin terus merasa. Kadang aku geli sendiri. Berpikir jika si dia berbibir tebal. Bagaimana nanti jika bercumbu. Alot sekali. Atau, makin terisap ke imajinasi liar, apakah tubuh dia gembrot. Bisa pingsan aku. Alah, aku pun tak sempurna. Kulitku cokelat menuju gelap. Jika dituruti, lama kelamaan aku jadi rasis. Tak pantas diriku menganggap enteng orang yang sebentar lagi kutemui. Teman akrab via teleponku.
Kecewa atau tidak, adalah masalah lain. Sekarang saatnya memantapkan hati, membentuk ikatan silaturahim. Itu akan lebih baik. Sayang saja, keakraban yang sudah ada, meluap tak berbekas. Hanya memandang fisik. Semata karena nafsu. Itu tak boleh terjadi.
***
Di warung a la kadarnya. Tidak yang istimewa. Menyesuaikan dengan kondisi perdompetan. Lagi pula, kami masih sama berstatus mahasiswa. Jadi, segelas teh hangat beserta gorengan bisa menjadi pengantar pertemuan darat kami. Nah, jika nanti ada kesepakatan apakah berusaha bersama, dan makin melesat, baru dipertimbangkan di restoran. Semua berawal dari yang kecil. Sebelum menuju luar biasa.
Malam sungguh cerah. Biasa hujan, tapi kali ini tidak. Warung masih sepi. Pukul enam petang sekarang. Pedagang tengah menyiapkan dagangan mereka. Ada beberapa stand. Sebelah sana bakso, di dekatku nasi kucing, atau pojok kanan ada yang menjual ketoprak. Tinggal pilih. Karena ini warung kumpulan beberapa pedagang. Menunggu, sebelum si doi datang, kupesan segelas jeruk panas. Cukup untuk menanti. Dengan harap cemas pastinya.
***
Dua gadis datang. Mampus. Teman kuliahku. Gunung Galunggung serasa mau meletus tepat di depanku. Kenapa mereka ada di sini? Tampak mereka ketawa ketiwi. Mendekat padaku.
‘Dani. Aku tahu aku tahu.’ Sri ganjen berkata.
Marie menambahi, ‘Sedang ada janji ya. Ngedate ya?’
Aku salah tingkah. Mau berkelit, otak serasa penuh. Koyak pertahananku.
‘Mm, aku nunggu teman bisnisku.’ jawabku asal.
‘Apaan. Ga mungkin. Sejak kapan kamu bisnis?’ Marie bertanya tajam.
Sungguh. Mati kutu aku dibuat mereka. Kalau ada cermin. Jelas, mukaku merona merah. Seperti udang direbus dibumbui kacang dan cabe merah. Lezat.
‘Kalian ngapain di sini?’ aku coba mengalihkan perhatian.
‘Eh eh. Pertanyaan belum dijawab.’ serang Sri.
‘Pertanyaan yang mana?’
‘Ka-mu-nga-pa-in disini, DODOL!’ bentak Marie.
‘Pasti nunggu cewek ya.’ Sri memberi tambahan jab sekaligus uppercut. Petinju wanita tangguh seperti Laila Ali kalah telak.
Pelayan datang bersama jeruk panas pesananku. Kesempatanku untuk menggoyang perbincangan yang terus mendesakku.
‘Makasih Mas,’ ucapku. ‘Eh, Sri. Marie. Kalian mau minum apa? Makan apa?’
‘Kau mau traktir?’ Sri berkata.
‘Beneran ya ditraktir. Rahasiamu kami jamin.’ Marie merangsek.
‘Pesan apa saja. Asal jangan bilang bilang ke teman lain.’
‘Asek,’ Mereka berseru. ‘Beres Bos.’
Aku tahu kelemahan dua perempuan di depanku. Makanan. Yah, daripada di kampus timbul gosip yang tidak jelas. Aku rela sepuluh dua puluh ribu keluar. Ketimbang mulut Sri dan Marie bocor ke mana mana. Mereka berdua menuju stand bakso. Ambil aja sepuasnya. Jika lebih dari dua puluh ribu, nanti aku tawar. Selebihnya mereka yang nomboki.
***
Teman mayaku belum datang. SMS belum dijawab. Pasti ia sedang terjebak macet. Sabar saja. Pasti akan datang. Hanya sekarang, bagaimana mengusir Sri dan Marie agar lenyap dari tempat ini? Biar mereka makan bakso sampai habis. Lepas kenyang, mereka akan minggat mencari target traktiran lain. Bergentayangan entah ke mana.
Meribut di http://www.andhysmarty.multiply.com
Menggaul di http://www.facebook.com/Dannie.Travolta